BAB I
PENDAHLUAN
1.1
Latar Belakang
Korosi atau yang lebih dikenal oleh
masyarakat dengan sebutan karat. Semua benda logam baik ferro maupun non-ferro
pun bisa mengalami korosi. Korosi adalaah proses perusakan logam, dimana logam
akan mengalami penurunan mutu (degradation)
karena bereaksi dengan lingkungan baik secara kimia atau elektro kimia.
Di zaman modern ini, logam aluminium banyak
digunakan dalam pembuatan konstruksi pesawat terbang, alat-alat industri,
perabotan rumah tangga hingga kemasan makanan. Maka untuk memperoleh hasil
produk yang baik aluminium diproses secara modern dengan ilmu pengetahuan
sebagai dasarnya untuk meminimalisasi korosi yang tidak dapat dihindarkan.
Aluminium umumnya mempunyai sifat ketahanan
terhadap korosi yang tinggi sehingga sulit terkorosi, namun seperti halnya
logam yang lain aluminium tetap dapat terkorosi dengan kondisi ekstrim
tertentu. Dalam pemilihan bahan logam untuk konstrusi salah satu parameter yang
harus dipertimbangkan adalah ketahanan logam terhadap korosi sehingga aluminium
pun juga memerlukan perlakuan khusus agar terhindar dari korosi. Oleh karena
itu makalah ini dibuat untuk mengetahui proses korosi yang trjadi pada
aluminium.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Korosi
Korosi adalah kerusakan atau degradasi logam akibat reaksi redoks antara suatu logam dengan berbagai
zat di lingkungannya yang menghasilkan senyawa-senyawa yang tidak dikehendaki.
Dalam bahasa sehari-hari, korosi disebut perkaratan. Contoh korosi yang paling
lazim adalah perkaratan besi. Pada peristiwa korosi, logam mengalami oksidasi, sedangkan oksigen (udara) mengalami reduksi. Karat logam umumnya adalah berupa oksida atau karbonat.
Rumus kimia karat besi adalah Fe2O3.nH2O,
suatu zat padat yang berwarna coklat-merah. Korosi merupakan proses elektrokimia. Pada korosi besi, bagian tertentu
dari besi itu berlaku sebagai anode, di mana besi mengalami oksidasi.
Fe(s) Fe2+(aq) + 2e
Elektron yang dibebaskan di anode
mengalir ke bagian lain dari besi itu yang bertindak sebagai katode, di mana oksigen tereduksi.
O2(g)
+ 4H+(aq) + 4e 2H2O(l)
atau
O2(g)
+ 2H2O(l) + 4e 4OH-(aq)
Ion besi(II) yang terbentuk pada anode
selanjutnya teroksidasi membentuk ion besi(III) yang kemudian membentuk senyawa
oksida terhidrasi, yaitu karat besi. Mengenai bagian mana dari besi itu yang
bertindak sebagai anode dan bagian mana yang bertindak sebagai katode,
bergantung pada berbagai faktor, misalnya zat pengotor, atau perbedaan rapatan
logam itu.
2.1
Aluminium
Aluminium adalah logam yang ringan dan cukup
penting dalam kehidupan manusia. Sering digunakan untuk kontruksi pesawat
terbang dan berbagai macam alat-alat industri. Aluminium merupakan unsur kimia
golongan IIIA dalam sistim periodik unsur, dengan nomor atom 13 dan berat atom
26,98 gram per mol (sma). Di udara bebas aluminium mudah teroksidasi membentuk
lapisan tipis (Al2O3) yang tahan terhadap korosi. Aluminium juga merupakan
logam ringan yang mempunyai ketahanan korosi yang baik dan hantaran listrik
yang baik dan sifat – sifat yang baik lainnya sebagai sifat logam.
Aluminium murni mempunyai kekuatan tegangan
yang rendah, tetapi mempunyai kemampuan untuk membentuk alloy bersama dengan
banyak unsur seperti tembaga, seng, magnesium, mangan dan silikon. Pada saat
ini hampir semua bahan yang dianggap aluminium adalah bukan aluminium murni
tetapi campuran aluminium (aluminium alloy).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
Bahan
kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah serbuk asam sitrat, garam KCl,
AgarpacR, aqua dm, dan pelat aluminium 99,07% seluas 1 cm2. Permukaan pelat
tersebut dihaluskan dengan kertas abrasif mulai grade 60
hingga 2000. Alat utama yang digunakan dalam percobaan ini adalah potensiostat
dengan software Gamry
Framework™. Rangkaian alat untuk mengukur laju korosi ditampilkan pada Gambar
1. Polarization cell dan reference cell terbuat dari gelas berdiameter 15cm dan
tinggi 12 cm. Jembatan garam KCl juga di dalam wadah gelas sepanjang 17 cm dan
tinggi 10 Cm.
3.2 Kondisi Percobaan
Variasi
konsentrasi larutan asam sitrat yang digunakan adalah 1, 2, dan 4%-berat;
sedangkan variasi temperatur yang dilakukan adalah 40, 50, dan 60°C.
3.3 Pengukuran Laju Korosi dan Prediksi Mekanisme Korosi
Salah
satu metoda pengukuran laju korosi adalah metoda ekstrapolasi Tafel menggunakan
alat potensiostat. Potensial korosi dan rapat arus korosi merupakan koordinat
titik potong bagian anodik dan katodik dari kurva polarisasi, yaitu kurva
hubungan antara potensial dan rapat arus seperti ditunjukkan pada Gambar 2
(Jones, 1992).
Mekanisme
reaksi korosi dapat diprediksi dengan menggunakan metode Linear Potential Sweep
Chronoamperometry, atau disebut juga Linear Sweep Voltametry
(LSV). Variasi potensial secara linier dan bolak-balik terhadap waktu
menghasilkan respon berupa perubahan arus terhadap waktu, yang digambarkan
sebagai kurva hubungan arus terhadap potensial, seperti pada Gambar 3 (Bard dan
Faulkner, 1983). Voltamogram siklik memberikan informasi tentang reversibilitas
reaksi, kestabilan produk korosi, dan jumlah tahap reaksi oksidasi maupun
reduksi. Untuk system Nernstian dengan produk yang stabil, berlaku bahwa ipa/ipc ≈
1. Reaksi dikatakan reversible jika Epa–Epc ≈ (0,118/n) volt. Jumlah
puncak anodik ataupun katodik menunjukkan jumlah tahap reaksi anodik ataupun
katodik (Bard dan Faulkner, 1983).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Laju Korosi
Laju
korosi dan potensial korosi dalam penelitian diperoleh dari diagram Tafel dengan
scan rate 1,67
mV/detik dan sample
period 5 detik. Salah satu diagram yang diperoleh
diperlihatkan pada Gambar 4. National Association of Corrosion
Engineers (NACE,
1985) menyepakati bahwa korosi dapat diabaikan jika laju korosi bernilai kurang
dari 0,0508 mm/tahun (2 mpy). Korosi “ringan” dikategorikan pada laju kurang
dari 0,508 mm/tahun (20 mpy), “sedang” dalam rentang laju 0,508-1,270 mm/tahun
(20-50 mpy), dan “parah” jika lajunya lebih besar dari 1,270 mm/tahun (50 mpy).
Hasil pengukuran laju korosi aluminium dalam larutan asam sitrat disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Laju Korosi (mm/tahun)
Aluminium dalam Larutan Asam Sitrat
|
Temperatur (°C)
|
|||
|
|
40
|
50
|
60
|
Konsentrasi
(%-b)
|
1
|
0,004
|
0,112
|
0,241
|
2
|
0,167
|
0,256
|
0,391
|
|
4
|
0,540
|
0,675
|
0,817
|
4.2 Pengaruh Kenaikan Konsentrasi Asam Sitrat dan Temperatur
Data-data
pada Tabel 1 dapat dialurkan menjadi kurva hasil pengukuran laju korosi terhadap
perubahan konsentrasi asam sitrat pada berbagai temperatur, seperti ditampilkan
pada Gambar 5. Gambar 5 memperlihatkan adanya kenaikan laju korosi seiring
dengan kenaikan konsentrasi asam sitrat. Derajat keasaman (pH) yang rendah
membuat laju korosi meningkat. Hal tersebut disebabkan karena konsentrasi asam
sitrat yang tinggi memiliki kandungan H+ yang tinggi sehingga dapat meningkatkan
jumlah partikel H+ yang bereaksi dengan logam Al menurut Persamaan 5.
Dengan
kata lain, laju korosi menjadi lebih cepat. Laju korosi yang dipengaruhi oleh konsentrasi
asam sitrat Cca,
dapat dituliskan sebagai:
n
r = k .C
ca
(4)
di
mana k adalah konstanta
laju reaksi, n
adalah
orde reaksi, dan Cca
dalam
%-berat. Dengan
menggunakan metode diferensiasi dari pengaluran nilai ln r terhadap ln Cca, regresi linier
menghasilkan konstanta nilai k dan n untuk tiap temperatur, seperti ditampilkan pada
Tabel 2.
Tabel 2.
Nilai k dan n pada Berbagai Temperatur
Temperatur
(°C)
|
Konstanta k
(mm/tahun)
|
Orde reaksi n
|
R2
|
40
|
0,052
|
1,693
|
0,9999
|
50
|
0,109
|
1,296
|
0,9979
|
60
|
0,231
|
0,880
|
0,9858
|
Dari
Tabel 2, nilai R2 yang diperoleh dari regresi linier bernilai
> 0,98 sehingga nilai k
dan
n cukup akurat.
Terlihat bahwa temperatur yang lebih tinggi mengakibatkan peningkatan nilai k dan penurunan
orde reaksi n.
Regresi linier dari pengaluran nilai n terhadap T menghasilkan
persamaan empiris:
n
=
−0,0407 . T + 14,428 (5)
dengan
R2
sebesar 0,9998. Mengingat bahwa asam sitrat adalah asam lemah tripotik dengan
harga pKa
yang
tidak sama untuk setiap tahap ionisasi, derajat ionisasi asam sitrat diduga
dapat mengalami perubahan pada temperatur yang berbeda. Dari hasil pengukuran,
terbukti bahwa kenaikan konsentrasi asam sitrat dan temperatur dapat menurunkan
pH larutan, seperti ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Derajat Keasamaan (pH)
Larutan Asam Sitrat pada Berbagai Temperatur dan
Konsentrasi Asam Sitrat.
|
Temperatur (°C)
|
|||
|
40
|
50
|
60
|
|
Konsentrasi
(%-b)
|
1
|
2,3
|
2,0
|
1,8
|
2
|
2,1
|
1,8
|
1,6
|
|
4
|
1,9
|
1,6
|
1,4
|
Dengan
demikian, persamaan 4 juga dapat dituliskan menjadi:
n
r = k’.C’H (6)
di
CH adalah
konsentrasi ion H+ dalam mol/liter. Dengan menggunakan metode diferensiasi dari
pengaluran nilai ln r terhadap ln CH, regresi linier menghasilkan konstanta
nilai k’ dan
n’ untuk
tiap temperatur, seperti ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4.
Nilai k’ dan n’ pada Berbagai
Temperatur
T (°C)
|
k’ (mm/tahun)
|
n’
|
R2
|
40
|
37583,7
|
2,549
|
0,9999
|
50
|
871,6
|
1,951
|
0,9979
|
60
|
56,1
|
1,325
|
0,9858
|
Tabel
4 memperlihatkan pula bahwa temperatur yang lebih tinggi mengakibatkan
peningkatan nilai k’
dan
penurunan orde reaksi n’.
Regresi linier dari pengaluran nilai n’ terhadap T menghasilkan
persamaan empiris:
n'= −0,0612 ⋅T
+ 21,716 (7)
dengan
R2 sebesar 0,9998. Persamaan 5
dan 7 menunjukkan bahwa kinetika reaksi korosi aluminium oleh asam sitrat tidak
dapat dirumuskan secara sederhana dengan power law equation karena persamaan
tersebut menghasilkan nilai orde reaksi yang berubah terhadap temperatur.
Selain itu, Gambar 4 memperlihatkan
bahwa kenaikan temperatur dapat meningkatkan laju korosi. Pada berbagai
konsentrasi asam sitrat, terlihat bahwa kenaikan laju korosi dapat dilinierkan.
Pada temperatur yang lebih tinggi, reaksi korosi mendapatkan lebih banyak
energi ke dalam sistem dan meningkatkan laju korosi dengan membuat frekuensi
tumbukan antarpartikel menjadi makin cepat. Dengan demikian, temperatur yang
makin tinggi mempermudah logam untuk melepaskan elektron yang dimilikinya.
4.3 Mekanisme Korosi
Metode
voltametri siklik digunakan untuk memperoleh informasi mengenai reversibilitas
reaksi, kestabilan produk korosi, dan jumlah tahap reaksi oksidasi maupun
reduksi. Pada reaksi korosi aluminium dalam larutan asam sitrat, reaksi
dianggap reversibel jika Epa–Epc ≤
0,118/n ≈
0,039 volt. Kestabilan produk korosi diketahui dari rasio antara arus puncak
anodik ipa dengan
arus puncak katodik ipc.
Produk korosi yang terbentuk bersifat stabil jika nilai ipa/ipc ≈
1. Selain itu, jumlah tahap reaksi diketahui dari jumlah puncak anodic maupun
katodik. Nilai Epa–Epc dan
ipa/ipc dalam
penelitian diperoleh dari voltamogram dengan forward scan rate 1,67 mV/detik; reverse scan rate 1,67
mV/detik; apex I 1000
mA/cm2; dan sample
period 5 detik. Salah satu voltamogram korosi aluminium
dalam larutan asam sitrat ditampilkan pada Gambar 7. Dalam percobaan yang
dilakukan, rentang potensial kerja yang digunakan tidak mencapai puncak kurva
anodik maupun kurva katodik. Oleh karena itu, pendekatan dilakukan untuk
mendapatkan rasio arus puncak dan jarak antara potensial puncak yang dapat
mewakilkan parameter tersebut. Potensial puncak diamati dengan mengukur titik
awal saat kedua kurva naik. Selisih potensial antara titik awal saat kedua
kurva naik dianggap sudah mewakili jarak kedua potensial puncak tersebut. Rasio
arus puncak didekati dengan besar arus yang dihasilkan pada jarak potensial
yang sama dari titik saat masing-masing kurva mulai naik. Hasil penelitian
terhadap mekanisme korosi aluminium dalam larutan asam sitrat disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5
menunjukkan bahwa semua nilai ipa/ipc = 1, yang memperlihatkan bahwa
produk korosi aluminium dalam larutan asam sitrat tidak bersifat stabil. Hasil
analisis difraksi sinar-X pada produk korosi aluminium tidak mendeteksi adanya
senyawa aluminium kristalin. Dengan demikian, kation Al3+ hasil reaksi korosi
berikatan dengan anion yang ada di dalam larutan membentuk garam aluminium
amorf yang tidak mudah tereduksi kembali menjadi logam Al. Selain itu, Tabel 6
juga menunjukkan bahwa semua nilai ΔE > 0,039 volt, sehingga reaksi
oksidasi aluminium oleh larutan asam sitrat merupakan reaksi irreversibel.
Tabel 5.
Hasil Pengukuran Epa – Epc dan ipa/ipc
dari Voltametri Siklik
Cca (%-b)
|
T (°C)
|
ΔE (volt)
|
ipa/ipc
|
1
|
40
|
0,193
|
4,125
|
1
|
60
|
0,192
|
5,324
|
4
|
60
|
0,181
|
4,366
|
Kurva
voltamogram pada Gambar 7 menunjukkan bahwa kurva anodik memiliki satu puncak.
Dengan demikian, aluminium terkorosi dalam larutan asam sitrat dengan satu
tahap. Pelepasan elektron pada aluminium menjadi ion Al3+ terjadi secara
simultan tanpa melalui pembentukan Al+ dan Al2+ terlebih dahulu. Oleh karena
itu, terbukti bahwa Persamaan 1 menjelaskan reaksi elementer yang terjadi pada
permukaan anoda. Selain itu, terlihat pula bahwa arus anodik pada reverse scan lebih
besar dari arus anodik pada forward
scan.
Hal ini menjelaskan bahwa laju reaksi anodik balik lebih besar dari laju reaksi
anodik maju karena luas permukaan anoda menjadi lebih besar akibat terkorosi.
BAB
V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa aluminium
terkorosi dalam larutan asam sitrat menjadi Al3+ dengan satu tahap reaksi
searah. Produknya bersifat tidak stabil, langsung membentuk garam aluminium
amorf. Laju korosi aluminium meningkat seiring dengan peningkatan temperatur
dan konsentrasi asam sitrat, seperti dijelaskan secara matematik pada power law equation
(PLE) dengan Persamaan 9, maupun pada fitted equation (FE) dengan Persamaan
10. Energi aktivasi korosi aluminium di dalam larutan asam sitrat bernilai
65,01 kJ/mol. Dalam rentang konsentrasi 1-4 %- berat dan temperatur 40-60°C,
laju korosi aluminium dapat digolongkan pada laju korosi “dapat diabaikan”
(kurang dari 2 mpy) hingga “sedang” (20-50 mpy).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar