Senin, 29 Desember 2014

MAKALAH HUKUM DAN PERATURAN KELAUTAN DAN PERIKANAN



MAKALAH
HUKUM DAN PERATURAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

Oleh:


Nama             : Bobi kuswandI
NIM               :12040037
Jurusan         : Teknik mesin

MAHASISWA TEKNIK MESIN
SEKOLAH TINGGGI TEKNOLOGI ADISUTJIPTO
YOGYAKARTA
2014


KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Makalah ini saya susun sebagai salah satu pelengkap tugas dari mata kuliah Kewarganegaraan
            Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun agar kedepan terdapat perbaikan ke arah yang lebih baik.
                                                                                               



                                                                                    Yogyakarta 5 desember 2014
                                                                                               
                                                                                                           
                                                                                                                      Penyusun














DAFTAR ISI

1.1                Profil Laut Indonesia
5          DAFTAR PUSTAKA












1.       PENDAHULUAN 
1.1.    Profil Laut Indonesia
            Laut Indonesia memiliki luas lebih kurang 5,6 juta km 2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan potensi sumberdaya, terutama perikanan laut yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun diversitasnya. Selain itu Indonesia tetap berhak untuk berpartisipasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam di laut lepas di luar batas 200 mil laut ZEE, serta pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dasar laut perairan internasional di luar batas landas kontinen.Nampak bahwa kepentingan pembangunan ekonomi di Indonesia lebih memanfaatkan potensi sumberdaya daratan daripada potensi sumberdaya perairan laut.

Hukum yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih banyak hukum warisan Belanda atau masih dipengaruhi oleh hukum Belanda. Dalam penerapannya oleh para penegak hukum ternyata tidak sebagaimana di negeri asalnya, yang lebih mengutamakan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak individu (ini tidak sama artinya dengan mementingkan diri sendiri) serta lebih berpikir rasional. Namun sebenarnya, selain hukum peninggalan Belanda, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang merupakan terjemahan dari Wetboek van Strafirecht, Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek, Indonesia telah memiliki hukum sendiri, yaitu Hukum Adat (Arianto dan Talaohu, 2009).

Potensi sumberdaya laut Indonesia tergolong sangat melimpah. Namum demikian potensi tersebut belum mampu memberikan kesejahteraan yang memadai bagi seluruh masyarakat nelayan sebagai pelaku utama dalam pemanfaatan sumberdaya hayati laut (Sudirman, 2006).

 Secara konstitusional masyarakat memiliki hak atas sumberdaya alam di wilayah laut dan pesisir sebagaimana tertuang dalam Pasal 18B UUD 1945. Tetapi dalam pelaksanaan hak tersebut masyarakat adat diperhadapkan dengan berbagai melemahkan masyarakat adat. Lemahnya hak konstitusional masyarakat adat disebabkan adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang seolah-olah tidak mengakui eksistensi masyarakat adat. Hal ini tentu tidaklah tepat karena bertentangan dengan konstitusi sehingga berbagai kebijakan pemerintah tersebut perlu di tinjau ulang untuk di rubah, sehingga kedepannya peraturan perundang-undangan yang dibuat dapat mengakomodir berbagai kepentingan masyarakat termasuk di dalamnya masyarakat hukum adat (Tjiptabudy, 2012).

            Apa saja hukum yang berlaku di Indonesia?
 Apa yang dimaksud hukum sasi laut?
Apa saja pelanggaran yang dilakukan masyarakat adat terhadap hukum sasi laut di wilayah Maluku?





Menurut van Vollenhoven dalam Nirahua (2012), ciri-ciri atau tanda-tanda hak ulayat sebagai berikut:
1.      Persekutuan hukum dan anggota-anggotanya berhak dengan bebas menggunakan, mengeyam kenikmatan menggarap tanah dalam wilayah persekutuan hukum tersebut;
2.      Orang-orang yang bukan anggota persekutuan hukum harus mendapat izin terlebih dahulu dari Kepala Persekutuan dengan membayar ganti kerugian;
3.      Dalam menggunakan tanah, anggota persekutuan hukum tidak membayar, tetapi bagi orang luar (asing) harus membayar uang pemasukan (recognitie/contributie);
4.      Persekutuan hukum bertanggung jawab atas kejahatan (pembunuhan) dalam wilayah persekutuan hukumnya apabila si pelaku tidak bisa digugat atau tidak dikenal;
5.      Persekutuan tidak boleh memindahtangankan (menjual, memberi) untuk selama-lamanya kepada siapapun juga kecuali dalam hal-hal tertentu dan sangat khusus;
6.      Persekutuan hukum tetap mempunyai hak campur tangan atas hak individu. 

Dengan demikian hak ulayat menunjukkan adanya hubungan hukum antara masyarakat hukum adat (subjek hak) dan sumber daya alam serta wilayah tertentu (objek hak). Hak ulayat berisi wewenang-wewenang yang menyatakan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan sumber-sumber alam/wilayahnya adalah hubungan penguasaan, bukan hubungan pemilikan.
 
Dalam kehidupan masa Orde Baru sampai sekarang, salah satu yang dianggap sebagai halangan potensial adalah hak ulayat. Oleh karena itu UUPA menganut konsep yang bertujuan melemahkan hak ulayat yaitu pengaturan atau konsep mengenai hak milik Negara; dan materi atau konsep mengenai pengakuan hak ulayat secara bersyarat. Secara tidak langsung, selain kedua konsep di atas, ada konsep ketiga yang juga mempermulus pelemahan hak ulayat. Konsep ketiga tersebut adalah kesatuan atau unifikasi hukum nasional. Seperti nalar yang dikembangkan oleh UUPA, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Pertambangan, Undang-Undang Pengairan dan Undang-Undang Perikanan juga menganggap bahwa kehadiran ‘hak menguasai negara’ berkonsekuensi pada pengaturan mengenai hak ulayat. Sekalipun formulasi kalimat eksplanatifnya tidak serupa dengan UUPA, namun redaksi keempat undang-undang tersebut bermuatan serupa dengan muatan UUPA. Dikatakan bahwa kekayaan alam di wilayah Indonesia merupakan kepunyaan atau milik seluruh bangsa Indonesia yang telah menggabungkan diri ke dalam sebuah organisasi kekuasaan bernama Negara. Oleh sebab itu pemanfaatan terhadap kekayaan alam tersebut haruslah mensejahterakan atau memakmurkan sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia (Nirahua, 2012).

Padahal masyarakat ulayat itu sendiri telah memiliki hak tersebut dan telah  melekat lama, itu  berarti terjadi pengabaian terhadap hukum adat. Dari hal tersebut   diharapkan pengambilan kebijakan kedepan dapat bersama-sama untuk membuat suatu format yang lebih mengarah kepada masyarakat ulayat khususnya daerah pesisir mengingat lingkup pesisir dalam pengembangan kewilayahan dari berbagai aspek memberikan dampak yang baik seperti wilayah pertahanan juga basis pertumbuhan sumber daya perikanan laut dalam  hal ini eksistensi  hak ulayat perlu mendapat pemikiran yang proporsional.

Namun demikian, meskipun aturan adat ini sudah berlaku di masyarakat, tetapi sampai saat ini  keberadaan hukum adat tersebut belum diakui oleh hukum formal yang ada di Indonesia. Sehingga tak jarang apabila masyarakat adat akan melakukan hukuman terhadap para pelanggar  hukum adat tersebut. Mereka sering dihadapkan pada hukum formal yang berlaku. Padahal, seperti kita ketahui, keberadaan hak ulayat laut tersebut sangat efektif dalam pengelolaan sumberdaya laut dan perikanan yang ada di wilayahnya. Dalam prinsisip-prinsip penerapan hak ulayat di masyarakat dapat memberikan dampak positif bagi pemerintah maupun lingkungan, karena didukung oleh model perencanaan yang bersifat partisipasif dan bottom-up, selain itu dalam melakukan pengawasan dan pengendalian, hak ulayat laut sangat efektif karena masyarakat adat atau lokal merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap masa depan sumberdayanya.



Jika dicermati ternyata masyarakat adat di wilayah-wilayah pesisir, pengelolaan potensi kelautan secara umum dilakukan secara tradisional yang dikenal dengan hak adat kelautan. Dibandingkan dengan hak ulayat atas tanah, maka tampak bahwa hak ulayat atas laut sebagai tradisi adat yang sudah berlangsung secara turun temurun dan dihormati oleh masyarakat adat. 

Penguasaan riil atas wilayah laut dan pesisir, oleh masyarakat adat sangat berkaitan dengan hubungan-hubungan atau relasi yang mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhannya di atas wilayah tersebut, secara merupakan sesuatu yang bersifat turun-temurun dari para leluhurnya. Di dalam wilayah ini sebenarnya secara de yure, terdapat wewenang dari komunitas masyarakat adat. Wewenang yang dimaksudkan disini terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, menurut prinsip-prinsip hukum adat dengan kekhasan masing-masing.

Dengan demikian maka secara teoritis dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan hak adat kelautan (hak ulayat laut) adalah seperangkat aturan atau praktek pengelolaan atau manajemen wilayah laut dan sumber daya di dalamnya berdasarkan adat-istiadat yang dilakukan oleh masyarakat pesisir pada desa. Perangkat aturan atau hak adat kelautan (hak ulayat laut) ini menyangkut siapa yang memiliki hak atas suatu wilayah, jenis sumberdaya yang boleh ditangkap dan teknik mengeksploitasi sumberdaya yang diperbolehkan yang ada dalam suatu wilayah laut.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Sub Komisi Hak Ekonomi, Sosial dan budaya (dalam Kertas Posisi Hak masyarakat hukum Adat, 2006) disebutkan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat terdiri dari:
1.      Hak Perseorangan sebagai warga Negara, yakni sebagai warga negara, warga masyarakat hukum adat mempunyai hak asasi yang sama dengan warga negara lainnya;
2.      Hak Kolektif sebagai masyarakat hukum adat yakni suatu komunitas, masyarakat hukum mempunyai kolektif, yang diperlukannya baik untuk memelihara eksistensi dan identitas kulturnya naupun untuk membangun dan mengembangkan potensi kemanusiaan warganya.
3.      Hak atas Pembangunan, yang terdiri dari berbagai macam hak.






3.      PEMBAHASAN

Maluku, yang dikenal dengan sebutan Seribu Pulau dan dikategorikan sebagai Provinsi Kepulauan (Archipelagic Province) karena kondisi geografis Maluku yang terdiri dari 812 pulau yang sebagian besarnya terdiri dari pulau kecil dengan luas laut 92,4 % dan darat 7,5 % dari total luas wilayahnya. Dengan kata lain luas laut Maluku sekitar 12 kali luas daratannya ternyata memiliki sistem hukum adat tersendiri dalam bidang kelautan yang dikenal dengan Hukum Sasi Laut (Nendissa, 2010).

Bagi masyarakat adat pesisir di Kepulauan Lease, Maluku Tengah, sejak dahulu telah dikenal tradisi dan kebiasaan dalam bentuk tata cara untuk melindungi, mengelola dan memanfaatkan lingkungan laut dan pesisir pantai sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Tradisi tersebut dikenal dengan bentuk sasi laut, yang didukung oleh kelembagaan dan perangkat hukum sasi.

Berdasarkan tempat dan jenis, ada dua jenis sasi, yaitu sasi darat dan sasi laut. Semata-mata pelaksanaan sasi merupakan tindakan perlindungan agar persediaan bahan makanan untuk desa (negeri) cukup terjamin, yang didasarkan pada pengertian tertentu tentang proses berkelanjutan keturunan makhluk yang hidup di laut dan siklus pertumbuhan di darat. Sedangkan berdasarkan pelaksana sasi tersebut ada dua jenis yaitu Sasi Kewang (petugas keamanan desa) dan Sasi Gereja. Tradisi sasi laut difungsikan melalui seperangkat aturan hukum selain aturan-aturan yang berkaitan dengan perlindungan dan pemanfaatan fungsi laut dan pesisir juga terhadap fungsi lingkungan darat.

Menurut Judge dan Nurizka (2008), peranan sasi memungkinkan sumberdaya alam terus menerus tumbuh dan berkembang. Dengan kata lain, sumberdaya alam hayati dan nabati perlu dilestarikan dalam suatu periode tertentu untuk memulihkan pertumbuhan dan perkembangan demi tercapainya hasil yang memuaskan.

Hukum adat sasi sangat efektif dalam menjaga lingkungan terutama laut karena masyarakat tidak berani mengambil sumberdaya alam sebelum waktu buat sasi. Setelah ditetapkan periode pelaksanaan sasi, zona sasi juga memberlakukan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran sasi. Zona sasi adalah sepanjang pantai yang merupakan hak desa tersebut dan ke arah laut, zona ini mulai dari surut terendah sampai kedalaman 25 meter. Dengan demikian, sebuah zona merupakan daerah terbatas bagi pemanfaatan sumberdaya alam yang sepenuhnya diatur melalui peraturan adat sasi laut.

Sasi merupakan hasil titah (keputusan) raja dan mendapat kesepakatan seluruh warga yang tentunya mengikat seluruh warga, dan ada sanksi jika warga mencoba untuk melanggar. Selama ini sasi bisa berjalan baik karena adanya kelompok orang yang menjaga kesepakatan sasi (kewang) dan ada keyakinan dalam masyarakat jika kesepakatan tersebut dilanggar, maka akan menimbulkan kualat (dampak buruk) bagi yang melanggar sasi (Judge dan Nurizka, 2006).

Kedudukan hukum adat sasi laut terhadap hukum positif di Indonesia khususnya terkait dalam masalah lingkungan. Hukum itu ada kaitannya dengan lingkungan karena secara tidak langsung hukum itu dapat memberikan perlindungan terhadap sumberdaya alam yang ada guna menjaga kelestarian di daerah tersebut.

Hukum positif adalah hukum yang mengatur tentang perlindungan terhadap sumberdaya alam. Hukum positif di Indonesia yang terkait dalam masalah lingkungan seperti UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan hukum adat sasi laut dan kewang berisi:
a.      Larangan menangkap atau mengambil jenis ikan tertentu, teripang, lola, dan hasil laut lainnya dengan alat tangkap jenis tertentu.
b.      Larangan menangkap ikan dengan menggunaka racun atau akar bore atau bahan kimia lain yang merusak.
c.       Larangan merusak terumbu karang dan biota laut lainnya.
d.      Larangan menebang atau memotong, mengambil serta merusak hutan bakau serta tanaman di sekitar wilayah pesisir.
e.      Larangan mengambil pasir, batu, karang dan kerikil tanpa izin pemerintah negeri.
f.        Larangan mengotori daerah pesisir, muara kali atau sungai dan lautan dengan cara apapun.

Sama halnya dengan adat yang lain, maka sanksi-sanksi atas pelanggaran adat sasi dilaksanakan oleh penguasa negeri dan arwah leluhur. Sanksi yang paling berat dan sangat ditakuti di waktu dahulu adalah sanksi yang diberikan oleh arwah leluhur. Oleh karena itu orang sangat takut melanggar sasi. Bilamana ada orang yang melanggar sasi yaitu melakukan pengambilan tanaman atau hasil laut pada masa tutup sasi maka hukuman yang diberikan oleh pemerintah negeri yaitu raja dan perangkat negeri kepada si pelanggar adalah ditangkap, dipertontonkan di hadapan masyarakat umum dan mendapat hukuman fisik lainnya seperti dicambuk, dikenakan denda, kerja paksa dan dikucilkan dari tengah-tengah kehidupan masyarakat. Hukuman itu itu tidak terlalu berat seperti hukuman yang akan diberikan oleh arwah atau roh-roh tete nene moyang (leluhur) antara lain seperti anak yang sakit-sakitan secara terus-menerus dan akhirnya meninggal dunia sehingga keluarga itu tidak memiliki seorang keturunanpun. Istilah lokalnya adalah tutup mataruma.

Pada masa tutup sasi masing-masing orang harus menjaga atau mewaspadai dirinya sehingga tidak membuat hal-hal yang bertentangan hingga pada akhirnya mendapat teguran dan hukuman dari kewang serta anak-anak kewang. Sementara itu suasana di sekitar hutan maupun labuhan (lautan) menjadi tenang dan sunyi. Kewang dan anak-anak kewang akan terus berjalan memeriksa apakah ada yang melanggar sasi atau tidak. Penduduk negeri tetap diperbolehkan ke hutan atau laut untuk mengambil makanan tetapi semua itu berlangsung secara tenang dan hanya mendatangi tempat-tempat yang tidak menjadi daerah sasi. Makanan isi kebun dan ikan hanya diambil untuk keperluan makan saja dan tidak boleh lebih.

Hukum sasi adalah sejumlah peraturan yang mengandung larangan dengan pidana denda. Hukum sasi terbagi menjadi hukum sasi materiil yaitu pokok perbuatan yang dapat dipidana, jenis pidana apa yang dapat diterapkan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Reglement sasi. Sedangkan hukum sasi formil yaitu sejumlah peraturan yang mengandung cara-cara kewang mepergunakan wewenangnya untuk menerapkan pidana, selain itu juga sasi bertujuan untuk melindungi alam dengan segala sesuatu yang ada di atasnya dari pengrusakan yang terjadi oleh tindakan-tindakan manusia.




4.      PENUTUP

Dari penyusunan Makalah ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
-       Persengketaan yang terjadi antar nelayan lokal pada umumnya adalah karena ketidakjelasan batas wilayah yang dimiliki oleh masing-masing warga masyarakat.
-       Masyarakat Hukum Adat yang berada di Maluku Tengah secara yuridis memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya pesisir dan laut yang terletak pada petuanan mereka.
-       Berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga adat maka secara tidak langsung eksistensi masyarakat adat (dalam hal ini pemilik otonomi asli) dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan Nasional khususnya dalam upaya pengolahan, pemeliharaan, dan upaya pelestarian lingkungan hidup sebagai bagian yang akan dinikmati oleh generasi seterusnya.
-       Sasi merupakan larangan untuk memanen suberdaya tertentu (hayati laut maupun darat) dalam jangka waktu yang ditetapkan. Sasi bertujuan untuk mengatur semua hasil bumi yang ada di wilayah negeri, baik pekarangan sendiri maupun areal perkebunan atau ladang (komersial).
-       Dengan adanya Hukum sasi laut, maka sumberdaya laut yang ada di wilayah Maluku Tengah akan melimpah karena sasi laut berfungsi sebagai penjaga sumberdaya laut yang ada di laut dan juga dilindungi oleh Pemerintah.

Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat sebaiknya menghargai, melestarikan, meningkatkan dan memperhatikan eksistensi masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisional yang dimiliki sesuai dengan pengakuan konstitusional dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak terjadi benturan diantara peraturan perundang-undangan yang berlaku.





Arianto, H. dan Sapiah Talaohu. 2009. Peranan Lembaga Peradatan Negeri dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Kecamatan Amahai, Maluku Tengah. Lex Jurnalica, Volume 6, Nomor 3, Halaman 157-173
Badan Pengelola Kapet Seram. 2011. Hak Ulayat dalam Perspektif Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. http://info.kapetseram.com/?p =127 Diakses tanggal 15 Mei 2012
Judge, Zulfikar dan Marissa Nurizka. 2006. Peranan Hukum Adat Sasi Laut dalam Melindungi Kelestarian Lingkungan di Desa Eti Kecamatan Seram Barat Kabupaten Seram Bagian Barat. Lex Jurnalica Volume 6, Nomor 1, Halaman 30-61
Nendissa, Renny H. 2010. Eksistensi Lembaga Adat dalam Pelaksanaan Hukum Sasi Laut di Maluku Tengah. Jurnal Sasi Volume 16, Nomor 4, Halaman 1-6
Nirahua, Salmon E. M. 2012. Hak-Hak Suku Nuaulu Atas Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Pulau Seram Provinsi Maluku. Universitas Pattimura
Sudirman. 2006. Potensi Sumberdaya Laut Perairan Indonesia Timur dan Tingkat Pemanfaatannya ke Depan oleh Masyarakat Pantai dan Nelayan Setempat. Makassar: Universitas Hasanuddin
Solihin, A. dan Arif Satria. 2007. Hak Ulayat Laut di Era Otonomi Daerah Sebagai Solusi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan: Kasus Awig-awig di Lombok Barat. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, Volume 01, Nomor 01, Halaman 67-86
Tjiptabudy, Jantje. 2012. Hak-Hak Konstitusional Masyarakat Adat Atas Sumberdaya Alam di Wilayah Laut dan Pesisir


Tidak ada komentar:

Posting Komentar