MAKALAH
HUKUM DAN PERATURAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
Oleh:
Nama : Bobi kuswandI
NIM :12040037
Jurusan : Teknik
mesin
MAHASISWA TEKNIK MESIN
SEKOLAH TINGGGI TEKNOLOGI ADISUTJIPTO
YOGYAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT,
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu. Makalah ini saya susun sebagai salah satu
pelengkap tugas dari mata kuliah Kewarganegaraan
Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, maka untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun agar kedepan terdapat perbaikan ke
arah yang lebih baik.
Yogyakarta
5 desember 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
1.1
Profil
Laut Indonesia
1. PENDAHULUAN
1.1. Profil
Laut Indonesia
Laut
Indonesia memiliki luas lebih kurang 5,6 juta km 2 dengan garis pantai
sepanjang 81.000 km, dengan potensi sumberdaya, terutama perikanan laut yang
cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun diversitasnya. Selain itu
Indonesia tetap berhak untuk berpartisipasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan
kekayaan alam di laut lepas di luar batas 200 mil laut ZEE, serta pengelolaan
dan pemanfaatan kekayaan alam dasar laut perairan internasional di luar batas
landas kontinen.Nampak bahwa kepentingan pembangunan ekonomi di Indonesia lebih
memanfaatkan potensi sumberdaya daratan daripada potensi sumberdaya perairan
laut.
Hukum
yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih banyak hukum warisan
Belanda atau masih dipengaruhi oleh hukum Belanda. Dalam penerapannya oleh para
penegak hukum ternyata tidak sebagaimana di negeri asalnya, yang lebih mengutamakan
penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak individu (ini tidak sama artinya
dengan mementingkan diri sendiri) serta lebih berpikir rasional. Namun
sebenarnya, selain hukum peninggalan Belanda, seperti Kitab Undang-undang Hukum
Pidana yang merupakan terjemahan dari Wetboek
van Strafirecht, Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang merupakan
terjemahan dari Burgerlijk Wetboek,
Indonesia telah memiliki hukum sendiri, yaitu Hukum Adat (Arianto dan Talaohu,
2009).
Potensi
sumberdaya laut Indonesia tergolong sangat melimpah. Namum demikian potensi
tersebut belum mampu memberikan kesejahteraan yang memadai bagi seluruh
masyarakat nelayan sebagai pelaku utama dalam pemanfaatan sumberdaya hayati laut
(Sudirman, 2006).
Secara konstitusional masyarakat memiliki hak atas
sumberdaya alam di wilayah laut dan pesisir sebagaimana tertuang dalam Pasal
18B UUD 1945. Tetapi dalam pelaksanaan hak tersebut masyarakat adat
diperhadapkan dengan berbagai melemahkan masyarakat adat. Lemahnya hak
konstitusional masyarakat adat disebabkan adanya berbagai peraturan
perundang-undangan yang seolah-olah tidak mengakui eksistensi masyarakat adat.
Hal ini tentu tidaklah tepat karena bertentangan dengan konstitusi sehingga
berbagai kebijakan pemerintah tersebut perlu di tinjau ulang untuk di rubah,
sehingga kedepannya peraturan perundang-undangan yang dibuat dapat mengakomodir
berbagai kepentingan masyarakat termasuk di dalamnya masyarakat hukum adat
(Tjiptabudy, 2012).
Apa
saja hukum yang berlaku di Indonesia?
Apa yang dimaksud hukum sasi laut?
Apa saja pelanggaran yang dilakukan
masyarakat adat terhadap hukum sasi laut
di wilayah Maluku?
Menurut van Vollenhoven dalam Nirahua (2012), ciri-ciri atau tanda-tanda hak ulayat
sebagai berikut:
1.
Persekutuan hukum dan anggota-anggotanya
berhak dengan bebas menggunakan, mengeyam kenikmatan menggarap tanah dalam
wilayah persekutuan hukum tersebut;
2.
Orang-orang yang bukan anggota persekutuan
hukum harus mendapat izin terlebih dahulu dari Kepala Persekutuan dengan
membayar ganti kerugian;
3.
Dalam menggunakan tanah, anggota persekutuan
hukum tidak membayar, tetapi bagi orang luar (asing) harus membayar uang
pemasukan (recognitie/contributie);
4.
Persekutuan hukum bertanggung jawab atas
kejahatan (pembunuhan) dalam wilayah persekutuan hukumnya apabila si pelaku
tidak bisa digugat atau tidak dikenal;
5.
Persekutuan tidak boleh memindahtangankan
(menjual, memberi) untuk selama-lamanya kepada siapapun juga kecuali dalam
hal-hal tertentu dan sangat khusus;
6.
Persekutuan hukum tetap mempunyai hak campur
tangan atas hak individu.
Dengan demikian hak ulayat menunjukkan adanya
hubungan hukum antara masyarakat hukum adat (subjek hak) dan sumber daya alam
serta wilayah tertentu (objek hak). Hak ulayat berisi wewenang-wewenang yang
menyatakan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan sumber-sumber
alam/wilayahnya adalah hubungan penguasaan, bukan hubungan pemilikan.
Dalam
kehidupan masa Orde Baru sampai sekarang, salah satu yang dianggap sebagai
halangan potensial adalah hak ulayat. Oleh karena itu UUPA menganut konsep yang
bertujuan melemahkan hak ulayat yaitu pengaturan atau konsep mengenai
hak milik Negara; dan materi atau konsep mengenai pengakuan hak ulayat secara
bersyarat. Secara tidak langsung, selain kedua konsep di atas, ada konsep
ketiga yang juga mempermulus pelemahan hak ulayat. Konsep ketiga tersebut
adalah kesatuan atau unifikasi hukum nasional. Seperti nalar yang dikembangkan
oleh UUPA, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Pertambangan, Undang-Undang
Pengairan dan Undang-Undang Perikanan juga menganggap bahwa kehadiran ‘hak
menguasai negara’ berkonsekuensi pada pengaturan mengenai hak ulayat. Sekalipun
formulasi kalimat eksplanatifnya tidak serupa dengan UUPA, namun redaksi
keempat undang-undang tersebut bermuatan serupa dengan muatan UUPA. Dikatakan
bahwa kekayaan alam di wilayah Indonesia merupakan kepunyaan atau milik seluruh
bangsa Indonesia yang telah menggabungkan diri ke dalam sebuah organisasi
kekuasaan bernama Negara. Oleh sebab itu pemanfaatan terhadap kekayaan alam
tersebut haruslah mensejahterakan atau memakmurkan sebanyak-banyaknya rakyat
Indonesia (Nirahua, 2012).
Padahal
masyarakat ulayat itu sendiri telah memiliki hak tersebut dan telah
melekat lama, itu berarti terjadi pengabaian terhadap hukum adat. Dari
hal tersebut diharapkan pengambilan kebijakan kedepan dapat
bersama-sama untuk membuat suatu format yang lebih mengarah kepada masyarakat
ulayat khususnya daerah pesisir mengingat lingkup pesisir dalam pengembangan
kewilayahan dari berbagai aspek memberikan dampak yang baik seperti wilayah
pertahanan juga basis pertumbuhan sumber daya perikanan laut dalam hal
ini eksistensi hak ulayat perlu mendapat pemikiran yang proporsional.
Namun
demikian, meskipun aturan adat ini sudah berlaku di masyarakat, tetapi sampai
saat ini keberadaan hukum adat tersebut belum diakui oleh hukum
formal yang ada di Indonesia. Sehingga tak jarang apabila masyarakat adat akan
melakukan hukuman terhadap para pelanggar hukum adat tersebut. Mereka
sering dihadapkan pada hukum formal yang berlaku. Padahal, seperti kita
ketahui, keberadaan hak ulayat laut tersebut sangat efektif dalam pengelolaan
sumberdaya laut dan perikanan yang ada di wilayahnya. Dalam prinsisip-prinsip
penerapan hak ulayat di masyarakat dapat memberikan dampak positif bagi
pemerintah maupun lingkungan, karena didukung oleh model perencanaan yang
bersifat partisipasif dan bottom-up,
selain itu dalam melakukan pengawasan dan pengendalian, hak ulayat laut sangat
efektif karena masyarakat adat atau lokal merasa memiliki dan bertanggung jawab
terhadap masa depan sumberdayanya.
Jika
dicermati ternyata masyarakat adat di wilayah-wilayah pesisir, pengelolaan
potensi kelautan secara umum dilakukan secara tradisional yang dikenal dengan
hak adat kelautan. Dibandingkan dengan hak ulayat atas tanah, maka tampak bahwa
hak ulayat atas laut sebagai tradisi adat yang sudah berlangsung secara turun
temurun dan dihormati oleh masyarakat adat.
Penguasaan
riil atas wilayah laut dan pesisir, oleh masyarakat adat sangat berkaitan
dengan hubungan-hubungan atau relasi yang mereka lakukan untuk memenuhi
kebutuhannya di atas wilayah tersebut, secara merupakan sesuatu yang bersifat
turun-temurun dari para leluhurnya. Di dalam wilayah ini sebenarnya secara de
yure, terdapat wewenang dari komunitas masyarakat adat. Wewenang yang
dimaksudkan disini terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam,
menurut prinsip-prinsip hukum adat dengan kekhasan masing-masing.
Dengan
demikian maka secara teoritis dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan hak
adat kelautan (hak ulayat laut) adalah seperangkat aturan atau praktek
pengelolaan atau manajemen wilayah laut dan sumber daya di dalamnya berdasarkan
adat-istiadat yang dilakukan oleh masyarakat pesisir pada desa. Perangkat
aturan atau hak adat kelautan (hak ulayat laut) ini menyangkut siapa yang
memiliki hak atas suatu wilayah, jenis sumberdaya yang boleh ditangkap dan
teknik mengeksploitasi sumberdaya yang diperbolehkan yang ada dalam suatu
wilayah laut.
Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia Sub Komisi Hak Ekonomi, Sosial dan budaya (dalam
Kertas Posisi Hak masyarakat hukum Adat, 2006) disebutkan bahwa hak-hak
masyarakat hukum adat terdiri dari:
1.
Hak Perseorangan sebagai warga Negara, yakni
sebagai warga negara, warga masyarakat hukum adat mempunyai hak asasi yang sama
dengan warga negara lainnya;
2.
Hak Kolektif sebagai masyarakat hukum adat
yakni suatu komunitas, masyarakat hukum mempunyai kolektif, yang diperlukannya
baik untuk memelihara eksistensi dan identitas kulturnya naupun untuk membangun
dan mengembangkan potensi kemanusiaan warganya.
3.
Hak atas Pembangunan, yang terdiri dari
berbagai macam hak.
Maluku,
yang dikenal dengan sebutan Seribu
Pulau dan dikategorikan sebagai Provinsi Kepulauan (Archipelagic Province) karena kondisi geografis Maluku yang
terdiri dari 812 pulau yang sebagian besarnya terdiri dari pulau kecil dengan
luas laut 92,4 % dan darat 7,5 % dari total luas wilayahnya. Dengan kata lain
luas laut Maluku sekitar 12 kali luas daratannya ternyata memiliki sistem hukum
adat tersendiri dalam bidang kelautan yang dikenal dengan Hukum Sasi
Laut (Nendissa, 2010).
Bagi masyarakat adat pesisir di Kepulauan Lease,
Maluku Tengah, sejak dahulu telah dikenal tradisi dan kebiasaan dalam bentuk
tata cara untuk melindungi, mengelola dan memanfaatkan lingkungan laut dan
pesisir pantai sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Tradisi tersebut
dikenal dengan bentuk sasi laut, yang didukung oleh kelembagaan
dan perangkat hukum sasi.
Berdasarkan tempat dan jenis, ada dua jenis sasi,
yaitu sasi darat dan sasi laut. Semata-mata pelaksanaan
sasi merupakan tindakan perlindungan agar persediaan bahan makanan untuk
desa (negeri) cukup terjamin, yang didasarkan pada pengertian tertentu tentang
proses berkelanjutan keturunan makhluk yang hidup di laut dan siklus
pertumbuhan di darat. Sedangkan berdasarkan pelaksana sasi tersebut ada
dua jenis yaitu Sasi Kewang (petugas
keamanan desa) dan Sasi Gereja.
Tradisi sasi laut difungsikan melalui seperangkat aturan hukum selain
aturan-aturan yang berkaitan dengan perlindungan dan pemanfaatan fungsi laut
dan pesisir juga terhadap fungsi lingkungan darat.
Menurut Judge dan Nurizka (2008), peranan sasi
memungkinkan sumberdaya alam terus menerus tumbuh dan berkembang. Dengan kata
lain, sumberdaya alam hayati dan nabati perlu dilestarikan dalam suatu periode
tertentu untuk memulihkan pertumbuhan dan perkembangan demi tercapainya hasil
yang memuaskan.
Hukum adat sasi sangat efektif dalam menjaga
lingkungan terutama laut karena masyarakat tidak berani mengambil sumberdaya
alam sebelum waktu buat sasi. Setelah ditetapkan periode pelaksanaan sasi,
zona sasi juga memberlakukan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran sasi.
Zona sasi adalah sepanjang pantai yang merupakan hak desa tersebut dan
ke arah laut, zona ini mulai dari surut terendah sampai kedalaman 25 meter.
Dengan demikian, sebuah zona merupakan daerah terbatas bagi pemanfaatan
sumberdaya alam yang sepenuhnya diatur melalui peraturan adat sasi laut.
Sasi merupakan hasil titah (keputusan) raja dan
mendapat kesepakatan seluruh warga yang tentunya mengikat seluruh warga, dan
ada sanksi jika warga mencoba untuk melanggar. Selama ini sasi bisa berjalan baik karena adanya kelompok orang yang menjaga
kesepakatan sasi (kewang) dan ada keyakinan dalam
masyarakat jika kesepakatan tersebut dilanggar, maka akan menimbulkan kualat (dampak buruk) bagi yang
melanggar sasi (Judge dan Nurizka,
2006).
Kedudukan hukum adat sasi laut terhadap hukum positif di Indonesia khususnya terkait
dalam masalah lingkungan. Hukum itu ada kaitannya dengan lingkungan karena
secara tidak langsung hukum itu dapat memberikan perlindungan terhadap
sumberdaya alam yang ada guna menjaga kelestarian di daerah tersebut.
Hukum positif adalah hukum yang mengatur
tentang perlindungan terhadap sumberdaya alam. Hukum positif di Indonesia yang
terkait dalam masalah lingkungan seperti UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan hukum adat sasi laut dan kewang
berisi:
a.
Larangan menangkap atau mengambil jenis ikan
tertentu, teripang, lola, dan hasil laut lainnya dengan alat tangkap jenis
tertentu.
b.
Larangan menangkap ikan dengan menggunaka
racun atau akar bore atau bahan kimia
lain yang merusak.
c.
Larangan merusak terumbu karang dan biota
laut lainnya.
d.
Larangan menebang atau memotong, mengambil
serta merusak hutan bakau serta tanaman di sekitar wilayah pesisir.
e.
Larangan mengambil pasir, batu, karang dan
kerikil tanpa izin pemerintah negeri.
f.
Larangan mengotori daerah pesisir, muara kali
atau sungai dan lautan dengan cara apapun.
Sama
halnya dengan adat yang lain, maka sanksi-sanksi atas pelanggaran adat sasi dilaksanakan oleh penguasa negeri
dan arwah leluhur. Sanksi yang paling berat dan sangat ditakuti di waktu dahulu
adalah sanksi yang diberikan oleh arwah leluhur. Oleh karena itu orang sangat
takut melanggar sasi. Bilamana ada
orang yang melanggar sasi yaitu
melakukan pengambilan tanaman atau hasil laut pada masa tutup sasi maka hukuman yang diberikan oleh
pemerintah negeri yaitu raja dan perangkat negeri kepada si pelanggar adalah
ditangkap, dipertontonkan di hadapan masyarakat umum dan mendapat hukuman fisik
lainnya seperti dicambuk, dikenakan denda, kerja paksa dan dikucilkan dari
tengah-tengah kehidupan masyarakat. Hukuman itu itu tidak terlalu berat seperti
hukuman yang akan diberikan oleh arwah atau roh-roh tete nene moyang (leluhur) antara lain seperti anak yang
sakit-sakitan secara terus-menerus dan akhirnya meninggal dunia sehingga
keluarga itu tidak memiliki seorang keturunanpun. Istilah lokalnya adalah tutup
mataruma.
Pada
masa tutup sasi masing-masing orang
harus menjaga atau mewaspadai dirinya sehingga tidak membuat hal-hal yang
bertentangan hingga pada akhirnya mendapat teguran dan hukuman dari kewang serta anak-anak kewang. Sementara itu suasana di sekitar hutan maupun
labuhan (lautan) menjadi tenang dan sunyi. Kewang
dan anak-anak kewang akan terus
berjalan memeriksa apakah ada yang melanggar sasi atau tidak. Penduduk negeri tetap diperbolehkan ke hutan atau
laut untuk mengambil makanan tetapi semua itu berlangsung secara tenang dan
hanya mendatangi tempat-tempat yang tidak menjadi daerah sasi. Makanan isi kebun dan ikan hanya diambil untuk keperluan
makan saja dan tidak boleh lebih.
Hukum
sasi adalah sejumlah peraturan yang
mengandung larangan dengan pidana denda. Hukum sasi terbagi menjadi hukum sasi
materiil yaitu pokok perbuatan yang dapat dipidana, jenis pidana apa yang
dapat diterapkan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan Reglement sasi. Sedangkan
hukum sasi formil yaitu sejumlah
peraturan yang mengandung cara-cara kewang
mepergunakan wewenangnya untuk menerapkan pidana, selain itu juga sasi bertujuan untuk melindungi alam
dengan segala sesuatu yang ada di atasnya dari pengrusakan yang terjadi oleh
tindakan-tindakan manusia.
Dari penyusunan Makalah ini, dapat ditarik
beberapa kesimpulan, yaitu:
-
Persengketaan yang terjadi antar nelayan
lokal pada umumnya adalah karena ketidakjelasan batas wilayah yang dimiliki
oleh masing-masing warga masyarakat.
-
Masyarakat Hukum Adat yang berada di Maluku
Tengah secara yuridis memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya pesisir
dan laut yang terletak pada petuanan mereka.
-
Berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh
lembaga adat maka secara tidak langsung eksistensi masyarakat adat (dalam hal
ini pemilik otonomi asli) dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan Nasional
khususnya dalam upaya pengolahan, pemeliharaan, dan upaya pelestarian
lingkungan hidup sebagai bagian yang akan dinikmati oleh generasi seterusnya.
-
Sasi merupakan larangan untuk memanen suberdaya
tertentu (hayati laut maupun darat) dalam jangka waktu yang ditetapkan. Sasi bertujuan untuk mengatur semua
hasil bumi yang ada di wilayah negeri, baik pekarangan sendiri maupun areal
perkebunan atau ladang (komersial).
-
Dengan adanya Hukum sasi laut, maka sumberdaya laut yang ada di wilayah Maluku Tengah
akan melimpah karena sasi laut
berfungsi sebagai penjaga sumberdaya laut yang ada di laut dan juga dilindungi
oleh Pemerintah.
Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat
sebaiknya menghargai, melestarikan, meningkatkan dan memperhatikan eksistensi
masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisional yang dimiliki sesuai dengan
pengakuan konstitusional dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sehingga tidak terjadi benturan diantara peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Arianto, H.
dan Sapiah Talaohu. 2009. Peranan Lembaga
Peradatan Negeri dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Kecamatan Amahai, Maluku
Tengah. Lex Jurnalica, Volume 6, Nomor 3, Halaman 157-173
Badan
Pengelola Kapet Seram. 2011. Hak Ulayat dalam
Perspektif Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
http://info.kapetseram.com/?p =127 Diakses tanggal 15 Mei 2012
Judge,
Zulfikar dan Marissa Nurizka. 2006. Peranan Hukum Adat Sasi Laut dalam
Melindungi Kelestarian Lingkungan di Desa Eti Kecamatan Seram Barat Kabupaten
Seram Bagian Barat. Lex Jurnalica Volume 6, Nomor 1, Halaman 30-61
Nendissa,
Renny H. 2010. Eksistensi Lembaga Adat
dalam Pelaksanaan Hukum Sasi Laut di
Maluku Tengah. Jurnal Sasi Volume 16, Nomor 4, Halaman 1-6
Nirahua,
Salmon E. M. 2012. Hak-Hak Suku Nuaulu
Atas Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Pulau Seram Provinsi Maluku.
Universitas Pattimura
Sudirman.
2006. Potensi Sumberdaya Laut Perairan
Indonesia Timur dan Tingkat Pemanfaatannya ke Depan oleh Masyarakat Pantai dan
Nelayan Setempat. Makassar: Universitas Hasanuddin
Solihin, A.
dan Arif Satria. 2007. Hak Ulayat Laut di
Era Otonomi Daerah Sebagai Solusi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan: Kasus
Awig-awig di Lombok Barat. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan
Ekologi Manusia, Volume 01, Nomor 01, Halaman 67-86
Tjiptabudy,
Jantje. 2012. Hak-Hak Konstitusional
Masyarakat Adat Atas Sumberdaya Alam di Wilayah Laut dan Pesisir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar