Rabu, 29 Oktober 2014

MATERIAL PESBANG KOROSI ALUMINIUM DALAM LARUTAN ASAM SITRAT



BAB I
PENDAHLUAN

1.1 Latar Belakang
Korosi atau yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan karat. Semua benda logam baik ferro maupun non-ferro pun bisa mengalami korosi. Korosi adalaah proses perusakan logam, dimana logam akan mengalami penurunan mutu (degradation) karena bereaksi dengan lingkungan baik secara kimia atau elektro kimia.
Di zaman modern ini, logam aluminium banyak digunakan dalam pembuatan konstruksi pesawat terbang, alat-alat industri, perabotan rumah tangga hingga kemasan makanan. Maka untuk memperoleh hasil produk yang baik aluminium diproses secara modern dengan ilmu pengetahuan sebagai dasarnya untuk meminimalisasi korosi yang tidak dapat dihindarkan.
Aluminium umumnya mempunyai sifat ketahanan terhadap korosi yang tinggi sehingga sulit terkorosi, namun seperti halnya logam yang lain aluminium tetap dapat terkorosi dengan kondisi ekstrim tertentu. Dalam pemilihan bahan logam untuk konstrusi salah satu parameter yang harus dipertimbangkan adalah ketahanan logam terhadap korosi sehingga aluminium pun juga memerlukan perlakuan khusus agar terhindar dari korosi. Oleh karena itu makalah ini dibuat untuk mengetahui proses korosi yang trjadi pada aluminium.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Korosi
Korosi adalah kerusakan atau degradasi logam akibat reaksi redoks antara suatu logam dengan berbagai zat di lingkungannya yang menghasilkan senyawa-senyawa yang tidak dikehendaki. Dalam bahasa sehari-hari, korosi disebut perkaratan. Contoh korosi yang paling lazim adalah perkaratan besi. Pada peristiwa korosi, logam mengalami oksidasi, sedangkan oksigen (udara) mengalami reduksi. Karat logam umumnya adalah berupa oksida atau karbonat.
Rumus kimia karat besi adalah Fe2O3.nH2O, suatu zat padat yang berwarna coklat-merah. Korosi merupakan proses elektrokimia. Pada korosi besi, bagian tertentu dari besi itu berlaku sebagai anode, di mana besi mengalami oksidasi.
Fe(s)         Fe2+(aq) + 2e
Elektron yang dibebaskan di anode mengalir ke bagian lain dari besi itu yang bertindak sebagai katode, di mana oksigen tereduksi.
O2(g) + 4H+(aq) + 4e         2H2O(l)
atau
O2(g) + 2H2O(l) + 4e         4OH-(aq)
Ion besi(II) yang terbentuk pada anode selanjutnya teroksidasi membentuk ion besi(III) yang kemudian membentuk senyawa oksida terhidrasi, yaitu karat besi. Mengenai bagian mana dari besi itu yang bertindak sebagai anode dan bagian mana yang bertindak sebagai katode, bergantung pada berbagai faktor, misalnya zat pengotor, atau perbedaan rapatan logam itu.

2.1 Aluminium
Aluminium adalah logam yang ringan dan cukup penting dalam kehidupan manusia. Sering digunakan untuk kontruksi pesawat terbang dan berbagai macam alat-alat industri. Aluminium merupakan unsur kimia golongan IIIA dalam sistim periodik unsur, dengan nomor atom 13 dan berat atom 26,98 gram per mol (sma). Di udara bebas aluminium mudah teroksidasi membentuk lapisan tipis (Al2O3) yang tahan terhadap korosi. Aluminium juga merupakan logam ringan yang mempunyai ketahanan korosi yang baik dan hantaran listrik yang baik dan sifat – sifat yang baik lainnya sebagai sifat logam.
Aluminium murni mempunyai kekuatan tegangan yang rendah, tetapi mempunyai kemampuan untuk membentuk alloy bersama dengan banyak unsur seperti tembaga, seng, magnesium, mangan dan silikon. Pada saat ini hampir semua bahan yang dianggap aluminium adalah bukan aluminium murni tetapi campuran aluminium (aluminium alloy).


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
Bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah serbuk asam sitrat, garam KCl, AgarpacR, aqua dm, dan pelat aluminium 99,07% seluas 1 cm2. Permukaan pelat tersebut dihaluskan dengan kertas abrasif mulai grade 60 hingga 2000. Alat utama yang digunakan dalam percobaan ini adalah potensiostat dengan software Gamry Framework™. Rangkaian alat untuk mengukur laju korosi ditampilkan pada Gambar 1. Polarization cell dan reference cell terbuat dari gelas berdiameter 15cm dan tinggi 12 cm. Jembatan garam KCl juga di dalam wadah gelas sepanjang 17 cm dan tinggi 10 Cm.

3.2 Kondisi Percobaan
Variasi konsentrasi larutan asam sitrat yang digunakan adalah 1, 2, dan 4%-berat; sedangkan variasi temperatur yang dilakukan adalah 40, 50, dan 60°C.

3.3 Pengukuran Laju Korosi dan Prediksi Mekanisme Korosi
Salah satu metoda pengukuran laju korosi adalah metoda ekstrapolasi Tafel menggunakan alat potensiostat. Potensial korosi dan rapat arus korosi merupakan koordinat titik potong bagian anodik dan katodik dari kurva polarisasi, yaitu kurva hubungan antara potensial dan rapat arus seperti ditunjukkan pada Gambar 2 (Jones, 1992).
Mekanisme reaksi korosi dapat diprediksi dengan menggunakan metode Linear Potential Sweep Chronoamperometry, atau disebut juga Linear Sweep Voltametry (LSV). Variasi potensial secara linier dan bolak-balik terhadap waktu menghasilkan respon berupa perubahan arus terhadap waktu, yang digambarkan sebagai kurva hubungan arus terhadap potensial, seperti pada Gambar 3 (Bard dan Faulkner, 1983). Voltamogram siklik memberikan informasi tentang reversibilitas reaksi, kestabilan produk korosi, dan jumlah tahap reaksi oksidasi maupun reduksi. Untuk system Nernstian dengan produk yang stabil, berlaku bahwa ipa/ipc ≈ 1. Reaksi dikatakan reversible jika EpaEpc ≈ (0,118/n) volt. Jumlah puncak anodik ataupun katodik menunjukkan jumlah tahap reaksi anodik ataupun katodik (Bard dan Faulkner, 1983).







BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Laju Korosi
Laju korosi dan potensial korosi dalam penelitian diperoleh dari diagram Tafel dengan scan rate 1,67 mV/detik dan sample period 5 detik. Salah satu diagram yang diperoleh diperlihatkan pada Gambar 4. National Association of Corrosion Engineers (NACE, 1985) menyepakati bahwa korosi dapat diabaikan jika laju korosi bernilai kurang dari 0,0508 mm/tahun (2 mpy). Korosi “ringan” dikategorikan pada laju kurang dari 0,508 mm/tahun (20 mpy), “sedang” dalam rentang laju 0,508-1,270 mm/tahun (20-50 mpy), dan “parah” jika lajunya lebih besar dari 1,270 mm/tahun (50 mpy). Hasil pengukuran laju korosi aluminium dalam larutan asam sitrat disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Laju Korosi (mm/tahun)
Aluminium dalam Larutan Asam Sitrat


Temperatur (°C)



40
50
60



Konsentrasi
(%-b)

1
0,004

0,112
0,241
2
0,167

0,256
0,391
4
0,540

0,675
0,817


4.2 Pengaruh Kenaikan Konsentrasi Asam Sitrat dan Temperatur
Data-data pada Tabel 1 dapat dialurkan menjadi kurva hasil pengukuran laju korosi terhadap perubahan konsentrasi asam sitrat pada berbagai temperatur, seperti ditampilkan pada Gambar 5. Gambar 5 memperlihatkan adanya kenaikan laju korosi seiring dengan kenaikan konsentrasi asam sitrat. Derajat keasaman (pH) yang rendah membuat laju korosi meningkat. Hal tersebut disebabkan karena konsentrasi asam sitrat yang tinggi memiliki kandungan H+ yang tinggi sehingga dapat meningkatkan jumlah partikel H+ yang bereaksi dengan logam Al menurut Persamaan 5.


Dengan kata lain, laju korosi menjadi lebih cepat. Laju korosi yang dipengaruhi oleh konsentrasi asam sitrat Cca, dapat dituliskan sebagai:
                        n
r = k .C ca                     (4)

di mana k adalah konstanta laju reaksi, n adalah orde reaksi, dan Cca dalam %-berat. Dengan menggunakan metode diferensiasi dari pengaluran nilai ln r terhadap ln Cca, regresi linier menghasilkan konstanta nilai k dan n untuk tiap temperatur, seperti ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2.
Nilai k dan n pada Berbagai Temperatur

Temperatur
(°C)

Konstanta k
(mm/tahun)

Orde reaksi n

R2

40

0,052
1,693
0,9999
50

0,109
1,296
0,9979
60

0,231
0,880
0,9858


Dari Tabel 2, nilai R2  yang diperoleh dari regresi linier bernilai > 0,98 sehingga nilai k dan n cukup akurat. Terlihat bahwa temperatur yang lebih tinggi mengakibatkan peningkatan nilai k dan penurunan orde reaksi n. Regresi linier dari pengaluran nilai n terhadap T menghasilkan persamaan empiris:
n = −0,0407 . T + 14,428                    (5)
dengan R2 sebesar 0,9998. Mengingat bahwa asam sitrat adalah asam lemah tripotik dengan harga pKa yang tidak sama untuk setiap tahap ionisasi, derajat ionisasi asam sitrat diduga dapat mengalami perubahan pada temperatur yang berbeda. Dari hasil pengukuran, terbukti bahwa kenaikan konsentrasi asam sitrat dan temperatur dapat menurunkan pH larutan, seperti ditampilkan pada Tabel 3.







Tabel 3. Derajat Keasamaan (pH)
Larutan Asam Sitrat pada Berbagai Temperatur dan Konsentrasi Asam Sitrat.


Temperatur (°C)


40

50
60
Konsentrasi
(%-b)

1
2,3

2,0
1,8
2
2,1

1,8
1,6
4
1,9

1,6
1,4


Dengan demikian, persamaan 4 juga dapat dituliskan menjadi:
              n
r = k’.CH                          (6)

di CH adalah konsentrasi ion H+ dalam mol/liter. Dengan menggunakan metode diferensiasi dari pengaluran nilai ln r  terhadap ln CH, regresi linier menghasilkan konstanta nilai k’ dan n’ untuk tiap temperatur, seperti ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4.
Nilai k’ dan n’ pada Berbagai Temperatur
T (°C)
k’ (mm/tahun)
n’
R2

40

37583,7
2,549
0,9999
50

871,6
1,951
0,9979
60

56,1
1,325
0,9858

Tabel 4 memperlihatkan pula bahwa temperatur yang lebih tinggi mengakibatkan peningkatan nilai k’ dan penurunan orde reaksi n’. Regresi linier dari pengaluran nilai n’ terhadap T menghasilkan persamaan empiris:
n'= −0,0612 ⋅T + 21,716                   (7)

dengan R2 sebesar 0,9998. Persamaan 5 dan 7 menunjukkan bahwa kinetika reaksi korosi aluminium oleh asam sitrat tidak dapat dirumuskan secara sederhana dengan power law equation karena persamaan tersebut menghasilkan nilai orde reaksi yang berubah terhadap temperatur. Selain itu, Gambar 4  memperlihatkan bahwa kenaikan temperatur dapat meningkatkan laju korosi. Pada berbagai konsentrasi asam sitrat, terlihat bahwa kenaikan laju korosi dapat dilinierkan. Pada temperatur yang lebih tinggi, reaksi korosi mendapatkan lebih banyak energi ke dalam sistem dan meningkatkan laju korosi dengan membuat frekuensi tumbukan antarpartikel menjadi makin cepat. Dengan demikian, temperatur yang makin tinggi mempermudah logam untuk melepaskan elektron yang dimilikinya.

4.3 Mekanisme Korosi
Metode voltametri siklik digunakan untuk memperoleh informasi mengenai reversibilitas reaksi, kestabilan produk korosi, dan jumlah tahap reaksi oksidasi maupun reduksi. Pada reaksi korosi aluminium dalam larutan asam sitrat, reaksi dianggap reversibel jika EpaEpc ≤ 0,118/n ≈ 0,039 volt. Kestabilan produk korosi diketahui dari rasio antara arus puncak anodik ipa dengan arus puncak katodik ipc. Produk korosi yang terbentuk bersifat stabil jika nilai ipa/ipc ≈ 1. Selain itu, jumlah tahap reaksi diketahui dari jumlah puncak anodic maupun katodik. Nilai EpaEpc dan ipa/ipc dalam penelitian diperoleh dari voltamogram dengan forward scan rate 1,67 mV/detik; reverse scan rate 1,67 mV/detik; apex I 1000 mA/cm2; dan sample period 5 detik. Salah satu voltamogram korosi aluminium dalam larutan asam sitrat ditampilkan pada Gambar 7. Dalam percobaan yang dilakukan, rentang potensial kerja yang digunakan tidak mencapai puncak kurva anodik maupun kurva katodik. Oleh karena itu, pendekatan dilakukan untuk mendapatkan rasio arus puncak dan jarak antara potensial puncak yang dapat mewakilkan parameter tersebut. Potensial puncak diamati dengan mengukur titik awal saat kedua kurva naik. Selisih potensial antara titik awal saat kedua kurva naik dianggap sudah mewakili jarak kedua potensial puncak tersebut. Rasio arus puncak didekati dengan besar arus yang dihasilkan pada jarak potensial yang sama dari titik saat masing-masing kurva mulai naik. Hasil penelitian terhadap mekanisme korosi aluminium dalam larutan asam sitrat disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan bahwa semua nilai ipa/ipc = 1, yang memperlihatkan bahwa produk korosi aluminium dalam larutan asam sitrat tidak bersifat stabil. Hasil analisis difraksi sinar-X pada produk korosi aluminium tidak mendeteksi adanya senyawa aluminium kristalin. Dengan demikian, kation Al3+ hasil reaksi korosi berikatan dengan anion yang ada di dalam larutan membentuk garam aluminium amorf yang tidak mudah tereduksi kembali menjadi logam Al. Selain itu, Tabel 6 juga menunjukkan bahwa semua nilai ΔE > 0,039 volt, sehingga reaksi oksidasi aluminium oleh larutan asam sitrat merupakan reaksi irreversibel.




Tabel 5.
Hasil Pengukuran Epa Epc dan ipa/ipc dari Voltametri Siklik

Cca (%-b)

T (°C)
ΔE (volt)
ipa/ipc
1

40
0,193
4,125
1

60
0,192
5,324
4

60
0,181
4,366

Kurva voltamogram pada Gambar 7 menunjukkan bahwa kurva anodik memiliki satu puncak. Dengan demikian, aluminium terkorosi dalam larutan asam sitrat dengan satu tahap. Pelepasan elektron pada aluminium menjadi ion Al3+ terjadi secara simultan tanpa melalui pembentukan Al+ dan Al2+ terlebih dahulu. Oleh karena itu, terbukti bahwa Persamaan 1 menjelaskan reaksi elementer yang terjadi pada permukaan anoda. Selain itu, terlihat pula bahwa arus anodik pada reverse scan lebih besar dari arus anodik pada forward scan. Hal ini menjelaskan bahwa laju reaksi anodik balik lebih besar dari laju reaksi anodik maju karena luas permukaan anoda menjadi lebih besar akibat terkorosi.





BAB V
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa aluminium terkorosi dalam larutan asam sitrat menjadi Al3+ dengan satu tahap reaksi searah. Produknya bersifat tidak stabil, langsung membentuk garam aluminium amorf. Laju korosi aluminium meningkat seiring dengan peningkatan temperatur dan konsentrasi asam sitrat, seperti dijelaskan secara matematik pada power law equation (PLE) dengan Persamaan 9, maupun pada fitted equation (FE) dengan Persamaan 10. Energi aktivasi korosi aluminium di dalam larutan asam sitrat bernilai 65,01 kJ/mol. Dalam rentang konsentrasi 1-4 %- berat dan temperatur 40-60°C, laju korosi aluminium dapat digolongkan pada laju korosi “dapat diabaikan” (kurang dari 2 mpy) hingga “sedang” (20-50 mpy).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar